Saya pernah membaca kalimat motivasi: “Your past doesn’t equal your future”
atau “Masa lalu Anda tidak sama dengan masa depan Anda”. Maksud dari
pernyataan ini adalah apa pun yang terjadi di masa lalu kita tidak
menentukan masa depan kita.
Benarkah demikian?
Dulu
saya menerima sepenuhnya pernyataan di atas. Dengan kata lain saya
hakulyakin bahwa penyataan ini benar-benar benar. Namun, sekarang saya
justru berpikir sebaliknya. Saat ini, saya tahu bahwa masa lalu sama
dengan masa depan atau masa depan ada di masa lalu.
Nah, bingung, kan?
Kesimpulan
ini saya dapatkan setelah memikirkan secara mendalam berbagai kasus
yang pernah saya tangani dan juga pengalaman hidup serta perubahan yang
terjadi pada begitu banyak alumnus pelatihan Supercamp Becoming a Money
Magnet dan The Secret of Mindset yang saya selenggarakan.
Ceritanya
begini. Jika masa lalu tidak sama dengan masa depan, lalu mengapa ada
begitu banyak orang yang sulit mencapai impian mereka? Mengapa mereka,
yang telah berusaha sedemikian keras alias melakukan massive action
melakukan sangat banyak upaya, membaca banyak buku sukses, ikut berbagai
pelatihan pengembangan diri, masih saja tetap sulit berhasil?
Sebaliknya,
mengapa ada orang yang tidak perlu membaca buku, tidak usah dengar
kaset motivasi, nggak pernah ke berbagai seminar, dan hanya dengan upaya
yang sedikit, eh… mudah sekali mencapai sukses yang mereka inginkan.
Dari
hasil perenungan saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa masa lalu
seseorang sama dengan masa depan mereka. Jika tetap berpegang teguh pada
pernyataan bahwa masa lalu tidak sama dengan masa depan maka kalimat
ini perlu sedikit dimodifikasi.
Saya
akhirnya menambahkannya menjadi, “Masa lalu tidak sama dengan masa
depan, bila kita mengembangkan kesadaran diri untuk berpikir dan
bertindak dengan prinsip kekinian.”
Lha, kamsud… eh.. maksudnya apa lagi nih?
Maksudnya
begini. Dari berbagai kasus yang saya telaah, saya menemukan bahwa
hampir semua tindakan kita, saat ini, dipengaruhi oleh kesimpulan akibat
pembelajaran berdasar pengalaman hidup kita di masa lalu, baik itu
pengalaman positif maupun pengalaman negatif. Dengan kata lain, selama
kita tidak mengembangkan kesadaran diri untuk bisa berpikir dengan
prinsip kekinian maka kita akan selalu beroperasi dengan “automatic
pilot”. Sebenarnya di dalam pikiran kita tidak mengenal masa lalu maupun
masa depan. Yang ada hanyalah masa sekarang.
Saya akan berikan contoh agar bisa lebih jelas.
Baru-baru
ini saya menangani mahasiswa dari Yogyakarta yang putus kuliah. Ia
bercerita bahwa ia tidak bisa berbicara di depan umum. Jika diminta
bicara di depan orang banyak maka ia selalu merasa takut, tidak berdaya,
jantung berdebar, muka pucat, keringat dingin, dan tidak tahu apa yang
harus diucapkan.
Dari
mana ia belajar respon seperti ini? Sudah tentu dari masa lalunya. Di
masa lalu, saat ia masih SD ternyata ia pernah dipermalukan di depan
kelas saat diminta membaca puisi. Pengalaman traumatik ini yang akhirnya
membuat ia seperti sekarang ini.
Seorang
wanita cantik, menarik, pintar, berusia sekitar 30-an, memegang posisi
kunci di perusahaan tempat ia bekerja, ternyata masih jomblo alias belum
punya pasangan. Kok bisa, ya?
Banyak
pria mapan yang menyenanginya. Dan, ia juga suka pada mereka. Bahkan,
ia telah menjalin kasih secara serius dengan beberapa pria itu. Namun,
selalu putus di tengah jalan. Nggak pernah sampai ke pernikahan.
Selidik
punya selidik ternyata wanita ini berasal dari keluarga broken home.
Orangtuanya berpisah saat ia masih berusia lima tahun. Ternyata,
perpisahan ini meninggalkan luka yang membekas cukup dalam di hatinya.
Saat itu ia menyimpulkan bahwa kehidupan rumah tangga adalah sesuatu
yang menyakitkan.
Namun,
ada juga orang yang telah beberapa kali mengalami kegagalan tapi ia
tetap bisa bangkit dari kegagalan itu dan akhirnya berhasil mencapai
impiannya. Saat ditanya mengapa ia bisa begitu gigih dan yakin dalam
memperjuangkan impiannya ia menjawab, “Saya berasal dari keluarga
miskin. Ayah saya selalu berpesan bahwa tidak ada orang yang gagal
asalkan ia mau terus berusaha, belajar dari kegagalannya, dan terus
berjuang. Prinsip ini yang saya pegang teguh.” Ia tidak membiarkan apa
yang dialaminya sekarang menghentikan langkahnya. Yang menjadi pendorong
semangatnya adalah pesan ayahnya, yang ia dapatkan sewaktu ia masih
kecil dulu.
Nah, Anda jelas sekarang?
Tadi
saya mengatakan bahwa masa lalu tidak sama dengan masa depan, bila kita
mengembangkan kesadaran diri untuk berpikir dan bertindak dengan
prinsip kekinian. Untuk bisa membuat masa depan tidak sama dengan masa
lalu maka kita perlu mengembangkan kesadaran diri. Kesadaran ini yang
membuat kita bertindak tidak lagi berdasar “data base” atau “program”
pikiran akibat pengalaman masa lalu namun berdasar kondisi kita saat
ini. Inilah yang saya maksudkan dengan prinsip kekinian.
Prinsip
kekinian menyatakan bahwa saat ini (kini) adalah titik awal dari
langkah kehidupan yang akan kita tempuh. Kita beroperasi dengan
pengetahuan, pengalaman, pemahaman, prinsip hidup, dan kebijaksanaan
yang berhasil kita kembangkan hingga saat ini. Kita tidak membiarkan
masa lalu mendikte hidup kita. Kita mengenang masa lalu hanya sebagai
sejarah hidup kita. Kita belajar dari masa lalu dan menjadi lebih
bijaksana. Nah, saat merenung mengenai kesadaran, kebijaksanaan, dan
masa depan… eh.. tiba-tiba saya mendapat email dari kawan saya, Eric
Gotana, melalui milis Money Magnet. Apa yang Eric tulis sejalan dengan
yang sedang saya pikirkan. Dan, atas seizin Eric saya mengutip dan
sedikit memodifikasi tulisannya.
Masa
depan sama dengan masa lalu karena kita "tidak bebas" menjalani
kehidupan di dunia sebagai akibat dari ketidaksadaran kita.
"Tidak bebas"
menjalani hidup maksudnya tidak bebas menjadi diri kita sendiri karena
rasa takut seperti takut dosa, takut karma buruk, takut salah, takut
berakibat buruk dan takut-takut lainnya yang dibenarkan oleh pikiran
kita. Pada contoh di atas, mahasiswa yang takut bicara di depan umum dan
wanita yang susah dapat jodoh (baca: takut menikah) menjalani hidup
dengan “tidak bebas” akibat penjara mental yang dibangun oleh pikiran
mereka, untuk melindungi mereka dari hal-hal “negatif”, menurut pikiran
itu sendiri.
Ketidaksadaran
ini disebabkan oleh karena pikiran kita merekayasa (baca: menafsirkan
secara subjektif) kebenarannya sendiri dan secara terus menerus
berputar-putar di dalam lingkaran sebab-akibat yang diciptakannya
sendiri.
Ketidaksadaran membuat kita tidak sadar akan adanya :
- kebenaran, karena kita terkekang oleh "kebenaran" dan "ketidakbenaran" menurut penafsiran pikiran kita.
- keadilan, karena kita terkekang oleh "keadilan" dan "ketidakadilan" menurut penafsiran pikiran kita.
- surga, karena kita terkekang oleh "surga" dan "neraka" menurut penafsiran pikiran kita.
- karma baik, karena kita terkekang oleh "karma baik" dan "karma buruk" menurut penafsiran pikiran kita.
- keberlimpahan, karena kita terkekang oleh "kekayaan" dan "kemelaratan" menurut penafsiran pikiran kita.
- kebahagiaan, karena kita terkekang oleh "kebahagiaan" dan "ketidakbahagiaan" menurut penafsiran pikiran kita.
Hanya
melalui kebijaksanaan kita mampu bebas dari jerat "benar" dan "tidak
benar" menurut pikiran sehingga mampu melihat apa yang ada secara
jernih. Kebijaksanaan hanya muncul ketika kita memutuskan untuk menjadi
sadar.
Pada
saat kita telah benar-benar sadar maka masa lalu tidak sama dengan masa
depan, masa depan tidak ada di masa lalu, masa depan adalah hasil
pencapaian yang diraih melalui perencanaan yang matang berdasar peta
kehidupan yang kita rancang sendiri, secara hati-hati dan saksama,
berdasar kesadaran kita pada saat itu.
* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator